LINIMASSA.ID – Desa Tenganan di Bali menolak modernisasi seperti halnya Desa Adat Baduy di Lebak, Provinsi Banten, yang menolak moderenisasi di tengah derasnya arus teknologi dan gaya hidup modern.
Alih-alih mengikuti perkembangan zaman, desa ini justru berdiri teguh menjaga adat dan tradisi leluhur. Desa ini merupakan Bali Aga atau Bali Kuno yang sudah ada sebelum pengaruh Kerajaan Majapahit masuk kebali.
Berlokasi di Kabupaten Karangasem, Desa Tenganan di Bali dikenal sebagai salah satu desa tertua di Bali. Masyarakatnya hidup dalam sistem adat ketat dan punya aturan yang diwariskan secara turun-temurun, termasuk dalam hal berpakaian, berumah tangga, hingga bermasyarakat.
Yang menarik, meski berada di pulau yang identik dengan pariwisata dan modernitas, desa ini justru seolah menjadi warisan budaya Bali yang asli. Penolakan terhadap modernisasi bukan karena anti kemajuan, tapi karena keinginan kuat untuk menjaga keseimbangan dan kearifan lokal.
Begitu masuk kawasan Desa Tenganan di Bali, suasananya terasa berbeda. Rumah-rumah dari batu dan tanah liat berdiri rapi, jalanan masih alami tanpa aspal, dan kehidupan warga berlangsung secara tradisional. Semua kegiatan dilakukan tanpa banyak campur tangan teknologi modern.
Ciri khas lain dari Desa Tenganan adalah kain tenun geringsing, yang dibuat dengan teknik double ikat. Sebuah metode langka di dunia. Prosesnya bisa memakan waktu bertahun-tahun, dan tetap dijalankan secara turun-temurun tanpa bantuan mesin modern.
Desa Tenganan di Bali Anut Sistem Sosial Tradisional
Selain soal budaya, sistem sosial di Desa Tenganan di Bali juga cukup unik. Warga hanya boleh menikah sesama warga desa. Jika ada yang memilih pasangan dari luar, maka ia harus rela kehilangan hak sebagai anggota masyarakat adat. Hal ini menjadi bentuk perlindungan terhadap nilai-nilai lokal dari dampak modernisasi.
Menariknya, meski berakar dari ajaran Hindu, warga Desa Tenganan di Bali tidak mengenal sistem kasta seperti masyarakat Bali pada umumnya. Semua orang dianggap setara dan punya peran masing-masing di dalam komunitas.
Upacara adat tetap menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah tradisi mekaré-karé atau perang pandan, yang dilakukan oleh para pemuda, dan digelar tiap tahun sebagai bentuk penghormatan kepada Dewa Indra. Upacara ini dijalankan dengan penuh khidmat dan semangat kebersamaan.
Selain tradisi mekaré-karé atau perang pandan, terdapat tradisi menaiki ayunan yang dilaksanakan seperti tradisi perang pandan, yaitu satu tahun sekali. Yang dimana dilakukan oleh gadis-gadis remaja sebagai bagian dari proses pengalihan usia dan penyucian diri
Walau menolak berbagai bentuk modernisasi, bukan berarti Desa Tenganan di Bali ini menutup diri sepenuhnya. Wisatawan tetap boleh berkunjung, namun ada batasan-batasan tertentu agar keberadaan orang luar tidak mengganggu tatanan adat yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.
Keteguhan Desa Tenganan di Bali dalam mempertahankan jati dirinya menjadi pelajaran penting di tengah dunia yang serba cepat ini. Di saat banyak komunitas kehilangan arah karena mengejar hal baru, desa ini membuktikan bahwa menjaga akar budaya bisa menjadi kekuatan yang tak tergantikan, bahkan di tengah gemerlap Bali modern.