linimassa.id – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengumumkan hasil pemeriksaan semester I-2023 dengan menyoroti 9.261 temuan. Ketua BPK Isma Yatun menyampaikan bahwa temuan tersebut mencakup kelemahan sistem pengendalian intern, ketidakpatuhan yang berpotensi merugikan negara, serta kekurangan penerimaan dan ketidakefisienan, dengan potensi kerugian mencapai Rp18,19 triliun.
“9.261 temuan mencakup kelemahan sistem pengendalian intern, ketidakpatuhan yang dapat mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan, serta ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan (3E) dengan nilai keseluruhan sebesar Rp18,19 triliun,” ujar Isma
Dari 9.261 temuan, Isma Yatun menyoroti dua klasifikasi dengan nilai terbesar. Potensi kerugian mencapai Rp7,43 triliun, sementara kekurangan penerimaan mencapai Rp6,01 triliun.
Selama proses pemeriksaan, entitas terkait telah menindaklanjuti dengan melakukan penyetoran uang dan/atau penyerahan aset sebesar Rp852,82 miliar.
Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I-2023 juga mencakup 134 hasil pemeriksaan atas laporan keuangan tahun 2022 pemerintah pusat. Sebanyak 81 Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), satu mendapatkan Wajar Dengan Pengecualian (WDP), dan satu Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN) dengan opini WTP.
“Opini WDP adalah laporan keuangan Kementerian Komunikasi dan Informasi terkait permasalahan aset peralatan dan mesin senilai Rp3,8 triliun dan konstruksi dalam pengerjaan senilai Rp1,9 triliun terkait base transceiver station (BTS),” tutur Isma.
Isma Yatun menekankan bahwa laporan keuangan Kementerian Komunikasi dan Informasi mendapatkan opini WDP terkait permasalahan aset peralatan dan mesin senilai Rp3,8 triliun, serta konstruksi dalam pengerjaan senilai Rp1,9 triliun terkait base transceiver station (BTS).
Laporan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN) mendapatkan opini 33 WTP, 6 WDP, dan 1 Tidak Wajar (TW). Opini TW diberikan karena permasalahan realisasi belanja modal berpotensi tidak layak bayar sebesar Rp6,44 miliar dan realisasi pembayaran biaya remunerasi sebesar Rp1,83 miliar yang tidak dapat diyakini kewajarannya. (AR)