linimassa.id – Tahu beluk? Ini adalah seni olah vokal yang berasal dari luar negeri. Namun jangan salah, di tanah Sunda, ternyata “Acapella” sudah berkembang sejak ratusan tahun lalu.
Tradisi olah vokal khas leluhur Jawa Barat ini dikenal dengan nama beluk. Sesuai namanya, beluk merupakan tradisi komunikasi masyarakat Sunda zaman dulu untuk menyerukan pesan kebaikan dalam sebuah rangkaian prosesi keagamaan melalui nada yang tinggi.
Berdasarkan sejarah, beluk sudah berkembang di tatar Sunda sejak 1677 dan 1678. Saat itu Waratanu 1 yang merupakan leluhur Cianjur hidup dalam satu lingkup Keraton Kasepuhan Cirebon yang menyatu dengan kerajaan Mataram.
Selanjutnya Waratanu datang ke wilayah Cimapag, Cianjur atas suruhan Sultan Sepuh. Perjalanan mereka banyak dihabiskan di kawasan hutan perbukitan dan lahan pertanian yang masih terdapat hewan liar.
Dilansir dari disparbud.jabarprov.go.id, tradisi beluk biasanya mengangkat pesan kebaikan dari kamus “Wawacan” atau bacaan dari karya sastra leluhur Jawa Barat berbentuk Pupuh atau biasa disebut Puisi Musikal Sunda.
Dalam aturan baku, Puhun sendiri terdapat 17 jenis, namun biasanya hanya 5 jenis Puhu sajan yang digunakan untuk menampilkan beluk.
Beberapa Puhun tersebut diantaranya: Kinanti (Rasa Khawatir, Sedih dan menggambarkan kepedulian), Sinom (Pesan Kebahagiaan, Rasa Sayang), Asmarandana (Rasa rindu terhadap pasangan atau keluarga), Dangdanggula (Keindahan, Ketenangan dan Ketentraman), Magatruh (Perasaan Sedih, kecewa dan penyesalan), dan lainnya.
Dalam situs KI Komunal, beluk merupakan seni music asal Banten yang masih bertahan hingga kini. Kata beluk berasal dari kata ba dan aluk.
Ba berarti besar dan aluk berarti gerowok atau dalam Bahasa Indonesia berteriak. Dengan kata lain, beluk berarti teriakan yang memberi tanda atau pemberitahuan kepada tetangga sekampung.
Sakral
Untuk pelaksanaanya, tradisi beluk biasanya akan dilakukan pada prosesi yang bersifat sakral dan sesuai dengan wawacan yang biasa dibawakan.
Seperti pernikahan yang biasanya akan diiringi dengan Wawacan Sinom, lalu khitanan yang erat kaitannya dengan Dangdanggula, dan lain-lain.
Dalam sekali pertunjukan, beluk akan menampilkan 3 sampai 5 penampil. Tergantung permintaan dan banyaknya Puhun yang disajikan.
Untuk pelaksanaan, biasanya dimulai dengan pembukaan atau pemberian sambutan dari tokoh adat setempat dan keluarga yang melaksanakan kegiatan tersebut.
Setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan lalakon yang akan ditampilkan oleh para pelantun yang biasa disebut Ilo.Terakhir para Ilo akan melakukannya secara bergantian per bait.
Akulturasi
Hal menarik dari tradisi beluk adalah terdapatnya perpaduan beberapa budaya dan bahasa yang menyatu dalam setiap penampilan atau kegiatan beluk. Salah satu yang menonjol adalah penggunaan aksara sunda dan jawa yang biasa dilantunkan secara bergantian.
Selain itu, terdapat pula budaya arab khas Timur Tengah yaitu penggunaan huruf pengon (Arab Gundul) namun dilantunkan dengan pola nyanyian berlogat sunda.
Untuk melakukan teknik Beluk, biasanya Ilo akan memakai suara kepala (head voice, yodel). Sehingga menciptakan suatu transisi yang unik antara suara rendah di tenggorokan hingga suara melengking di kepala.
Dari kedua teknik tersebut suara dari ilo akan menciptakan suatu loncatan nada dan warna suara yang berbeda beda (timber).
Ciri khas berikutnya adalah Ilo memiliki suara lengkingan yang panjang, dan umumnya dilakukan dalam satu tarikan nafas. Para pelantun seakan berlomba agar bisa mencapai nada atau suara setinggi-tingginya, hanya dengan tarikan satu nafas.
Kesenian beluk memang dikenal sebagai salah satu jenis tembang Sunda yang banyak mempergunakan nada-nada tinggi.
Pada awalnya kesenian beluk hidup di dalam masyarakat agraris, terutama ladang dan huma, tetapi pada saat ini kesenian beluk ini masih dapat bisa ditemui pada perayaan-perayaan besar misalnya di perayaan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. (Hilal)