PANDEGLANG, LINIMASSA.ID – Seekor Badak Jawa benama Musofa dilaporkan mati setelah menjalani proses translokasi di kawasan Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK).
Kabar kematiannya menyita perhatian publik karena spesies ini merupakan salah satu mamalia paling langka di dunia.
Badak Jawa Musofa tidak berhasil diselamatkan lantaran diduga memiliki penyakit kronis bawaan yang memperburuk kondisi kesehatannya.
Upaya translokasi tersebut sebenarnya merupakan bagian dari program konservasi jangka panjang untuk memperkuat populasi Badak Jawa melalui pemindahan individu ke area khusus penelitian dan pengelolaan.
Kepala Balai TNUK, Ardi Andono, menjelaskan bahwa seluruh proses pemindahan Badak Jawa Musofa telah dipersiapkan dengan matang.
“Prosesnya melibatkan para pakar konservasi satwa liar dari dalam dan luar negeri, dokter hewan, personel TNI, serta berbagai mitra konservasi,” ujarnya melalui rilis resmi, Kamis 27 November 2025.
Ardi menyebut translokasi menjadi langkah penting karena kondisi DNA Badak Jawa saat ini berada pada tingkat keragaman yang mengkhawatirkan sehingga membutuhkan program breeding yang lebih terstruktur.
“Upaya yang dilakukan mencakup penerapan Assisted Reproductive Technology (ART), biobank, hingga kemungkinan gen editing,” jelasnya.
Populasi Badak Jawa
Berdasarkan kajian IPB University, populasi Badak Jawa kini hanya memiliki dua haplotipe—haplotype 1 dengan tingkat inbreeding 58,5 persen dan haplotype 2 sekitar 6,5 persen. Seluruh prosedur translokasi dilakukan mengacu pada standar konservasi internasional disertai simulasi, penilaian etik, dan kesiapan logistik.
Musofa berhasil dipindahkan tanpa mengalami cedera. Namun penyakit kronis yang telah lama dideritanya menjadi hambatan medis yang sulit ditangani.
“Translokasi ini merupakan tonggak sejarah bagi konservasi Badak Jawa karena Musofa adalah individu pertama yang dipindahkan,” kata Ardi. Langkah tersebut menjadi bagian dari upaya memperkuat keberlanjutan populasi dan meningkatkan keragaman genetik di habitat alaminya.
Ardi juga memaparkan kronologi kejadiannya. Musofa masuk ke pit trap pada 3 November 2025. Setelah mempertimbangkan kondisi cuaca dan faktor keselamatan, pemindahan dilakukan, dan Musofa tiba di JRSCA pada 5 November 2025 dalam keadaan stabil serta menunjukkan proses adaptasi awal yang cukup baik. Pemantauan intensif dilakukan oleh tim dokter hewan sejak hari pertama.
Namun, pada 7 November 2025, kondisi klinisnya memburuk. Upaya medis darurat segera diberikan, tetapi nyawanya tidak dapat diselamatkan pada sore hari tersebut.
Tim patologi dari Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis (SKHB) IPB University kemudian melakukan nekropsi untuk mengetahui penyebab kematian.
Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya penyakit kronis pada lambung, usus, dan otak, disertai infeksi parasit dalam jumlah besar serta tanda-tanda degenerasi jaringan.
Selain itu ditemukan juga luka lama akibat perkelahian di alam liar, meski bukan merupakan penyebab utama kematiannya.
“Temuan ini menjadi bahan penting untuk meningkatkan standar pengelolaan kesehatan Badak Jawa di habitat alaminya,” ungkap Ardi.
Balai TNUK bersama IPB University, akademisi, dan mitra konservasi kini menyiapkan langkah lanjutan berupa analisis menyeluruh untuk memperkuat deteksi dini penyakit, pengelolaan habitat, serta pemantauan kesehatan populasi.
“Kepergian Musofa adalah duka mendalam bagi kami, tetapi juga menjadi pengingat betapa kompleksnya upaya melindungi spesies yang sangat terancam punah,” tuturnya.
Sebelumnya, Indonesia mencatat sejarah baru dengan dilaksanakannya translokasi pertama seekor Badak Jawa melalui “Operasi Merah Putih,” yang memindahkan Musofa dari habitat aslinya ke kawasan konservasi khusus JRSCA.
Kolaborasi lintas lembaga, terutama dukungan Marinir TNI, menjadi bagian penting dari misi konservasi berisiko tinggi tersebut.



