SERANG, LINIMASSA.ID – Pihak Apotek Gama mengancam akan menggugat Balai BPOM di Serang jika menetapkan tersangka dalam kasus dugaan obat setelan atau racikan berbahaya. Pihak Apotek Gama yakin mereka tidak bersalah dalam kasus tersebut.
“Kami akan melakukan gugatan praperadilan apabila pihak BPOM menetapkan tersangka dalam kasus ini,” ujar kuasa hukum dari Apotek Gama, Rahmatullah Jupri, Minggu 13 Desember 2025.
Jupri selaku kuasa hukum Apotek Gama Cilegon mengungkapkan, BPOM di Serang saat ini sedang melakukan penyidikan kasus tersebut. Kasus tersebut mulai disidik setelah petugas BPOM di Serang menemukan ratusan ribu butir obat.
Obat tersebut ditemukan saat petugas BPOM melakukan pengawasan pelayanan kefarmasian pada 9 Oktober 2024 lalu. Diduga, obat-obatan tanpa label dan merek tersebut akan diperjualbelikan.
“Kami dari Apotek Gama akan mengajukan gugatan praperadilan untuk menguji penetapan tersangka apabila hal tersebut dilakukan oleh pihak BPOM,” kata Rahmatullah.
Rahmatullah membantah Apotek Gama Cilegon telah memperjualbelikan obat racikan berbahaya. Menurut dia, obat yang disita petugas tersebut rencananya akan dimusnahkan. “Bukan untuk dijual, tapi mau dimusnahkan,” ujarnya.
Rahmatullah menyayangkan pihak Balai BPOM di Serang yang mengambil langkah hukum berupa pemidanaan terhadap temuan obat tersebut. Seharusnya kata dia, pihak Balai BPOM di Serang dapat melakukan pembinaan apabila apotek dianggap melakukan kesalahan. “Apotek itu mitranya BPOM bukan musuhnya BPOM. Kalau salah harusnya diklasifikasi dulu,” katanya.
Kasus Obat Setelah Apotek Gama
Ia membenarkan kasus temuan obat tersebut telah naik ke tahap penyidikan. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) informasinya sudah ditembuskan pihak Balai BPOM di Serang ke kejaksaan. “Kalau sudah ada SPDP-nya berarti sudah ada target tersangkanya,” ungkapnya.
Sementara itu, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada Balai BPOM di Serang terus melakukan penyidikan dengan melakukan pemeriksaan saksi dalam kasus tersebut.
Belum lama ini, penyidik telah merampungkan pemeriksaan saksi dari pemasok obat ke Apotek Gama Cilegon. “Sudah (dilakukan pemeriksaan-red). Saat ini masih berproses (penyidikan-red),” ujar Ketua Tim Penindakan Balai BPOM di Serang, Farida Ayu Widiastuti.
Sebelum memeriksa pemasok obat tersebut, penyidik telah melakukan permintaan keterangan terhadap tujuh karyawan Apotek Gama Kota Cilegon. “Ada tujuh orang saksi dari mereka (Apotek Gama Cilegon-red),” kata Farida.
Selain pemasok dan tujuh karyawan, penyidik juga telah melakukan pemeriksaan terhadap pemilik Apotek Gama Grup, Edi Mulyawan Martono. Edi bahkan telah diperiksa sebanyak dua kali. “Iya (pemeriksaan tambahan terhadap Edi-red),” ujar Farida.
Kepala Balai BPOM di Serang Mojaza Sirait menjelaskan, dari penyidikan kasus tersebut pihaknya telah melakukan penyitaan sekitar 400 ribu butir obat. Obat tersebut disita sebagai barang bukti dugaan tindak pidana penyalahgunaan obat. “Obat setelan ini dilarang,” tegasnya.
Mojaza mengatakan, ada tiga jenis obat yang diamankan. Diduga, obat tersebut mengandung Natrium Diklofenat, Deksametasol, Salbutamol Sulfate, Teofilin, klorfeniramin maleat dan Asam Mefanemat. Obat tersebut biasanya digunakan untuk pengobatan sakit gigi, demam dan sesak nafas. “Obat ini digunakan buat sakit gigi,” ujar pria yang akrab disapa Moses ini.
Mojaza mengungkapkan, obat setelan merupakan obat yang berbahaya. Sebab, obat ini tidak diketahui kandungannya, identitas obat, nomor bets, tanggal kadaluarsa, indikasi dan dosis aturan pakai. Selain itu, keamanan dan khasiat obat tidak terjamin. “Obat ini berbahaya bagi masyarakat,” ujarnya.
Mojaza mengatakan, pihaknya sedang mendalami pihak yang terlibat dalam dugaan pengemasan obat setelan tersebut. Saat ini pihaknya sedang melakukan proses penyidikan untuk membuat terang benderang peristiwa pidananya. “Saat ini masih dilakukan pengembangan,” katanya.
Mojaza menambahkan, mengedarkan sedian farmasi atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dapat dijerat dengan Pasal 435 Undang-undang RI Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. Berdasarkan aturan tersebut pelaku terancam pidana hingga 12 tahun. “Denda paling banyak Rp 5 miliar,” tuturnya.