linimassa.id – Setelah viral All Eyes on Rafah sekarang muncul All Eyes on Papua. Arti all eyes on Papua secara harfiah dalam bahasa Indonesia adalah “semua mata tertuju pada Papua”.
Kalimat tersebut merupakan ungkapan masyarakat yang menunjukkan kepedulian mereka terhadap hutan Papua yang disebut akan dijadikan lahan perkebunan sawit.
Poster bertuliskan all eyes on Papua bertebaran di sosmed. Tagar all eyes on Papua saat ini sedang menempati trending topik teratas di platform sosmed X.
Warganet menyuarakan bahwa hutan Papua akan dibabat oleh pejabat dan petinggi untuk perkebunan sawit. Masyarakat adat di Papua saat ini sedang memperjuangkan hak mereka atas hutan adat.
“Senin kemarin masyarakat adat awyu papua demo di depan gedung Mahkamah Agung. Mereka sedang memperjuangkan hak-hak mereka, hutan adat tempat mereka tinggal bakalan kena gusur buat dijadiin kebun sawi. Please focus on them too. #Alleyesonpapua #Alleyesonpapua,” tulis pengguna akun X @lercwolf Jumat (31/5/2024).
Pejabat dan petinggi negeri yang hanya mementingkan bisnis dinilai sebagai dalang yang membuat masyarakat Papua miskin. Mengorbankan hutan untuk untuk perkebunan sawit dianggap sebagai tindakan yang egois dan tidak berprikemanusiaan.
“Dari sini kita akan paham bahwa saudara kita di Indonesia dimiskinkan oleh para pejabat, petinggi rakus yg isi otaknya bisnis semua. Sacrificing forests for oil palm plantations is a selfish and inhumane act. DON’T STOP TALKING ABOUT PAPUA!! #AllEyesOnPapua #LindungiHutanPapua,” tulis pengguna akun X @variabelcepheid Minggu (2/6/2024).
Kebun Sawit
All eyes on Papua bergema untuk menyuarakan konflik lahan yang sedang terjadi di Papua. Masyarakat adat Marga Moro dan Suku Awyu didampingi oleh Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua menggungat izin lingkungan kebun sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL).
Masyarakat adat Papua Barat menolak dengan tegas rencana pembabatan hutan seluas 36 ribu hektar itu. Apabila proyek tersebut terlaksana, hutan adat yang selama ini merupakan sumber penghidupan bagi mereka akan hilang, kehidupan mereka terancam.
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat melalui laman petisi change.org sejak 2 Maret 2024, mengajak orang-rang menandatangani petisi pencabutan izin sawit PT IAL. Melalui petis itu dijelaskan bahwa menghilangkan hutan alam dengan luas separuh Jakarta adalah suatu bencana.
Pasalnya, hilangnya rimba Papua untuk proyek perkebunan sawit PT IAL akan menghilangkan emisi 25 juta ton CO2. Jumlah emisi tersebut sama dengan menyumbang 5 persen dari tingkat emisi karbon tahun 2030. Dampaknya tentu tidak hanya di Papua, tetapi juga ke seluruh dunia.
Pada Senin, 27 Mei 2024, masayrakat adat Papua Barat Awyu dan Moi melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung Mahkamah Agung (MA). Mereka melakukan aksi damai dengan menggunakan baju adat mereka sembari meluapkan penolakan atas izin perusahaan perkebunan kelapa sawit di Boven Digoel dan Sorong.
“Kami datang menempuh jarak yang jauh, rumit, dan mahal dari Tanah Papua ke Ibu Kota Jakarta, untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan ini,” ungkapnya Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dikutip CNBC.
Aksi demo masyarakat adat Papua di depan gedung MA itu dilakukan usai gugatan mereka di pengadilan tingkat pertama dan kedua gagal.
Gugatan kini memasuki tahap Kasasi, yang menjadi harapan terakhir bagi masyarakat adat Papua untuk mempertahankan dan memperjuangkan hutan adat mereka.
Petisi
Seruan untuk memperhatikan kondisi Papua sangat nyaring di media sosial, khususnya X (sebelumnya Twitter). Dalam unggahan akun @tanyakanrl (31/5) disebutkan bahwa hak-hak masyarakat Papua tengah direnggut paksa oleh penguasa.
Unggahan yang disertai poster bertuliskan “All Eyes on Papua” itu menjadi viral dengan total views sebanyak 1,1 juta, dan disukai oleh 47,1 ribu orang.
Tidak hanya viral, muncul juga petisi solidaritas untuk Papua yang diusung Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. Dalam petisi itu dijelaskan bahwa hutan di Papua akan dibabat demi pembangunan kebun kelapa sawit. Petisi tersebut sudah ditandatangani oleh 70.127 orang.
Aksi masyarakat Papua menolak izin perusahaan sawit di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (27/5/2024). Foto: Bay Ismoyo/AFPzoom-in-white
Sebagaimana diketahui, masyarakat Papua sangat menjunjung tinggi adat dan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Papua menjadi daerah yang diberkahi dengan kekayaan alam berupa hutan tropis terluas di Indonesia.
Berdasarkan data Auriga Nusantara, sebuah organisasi yang fokus pada pelestarian sumber daya alam di Indonesia, total luas hutan provinsi Papua dan Papua Barat sekitar 33.847.928 hektare pada tahun 2022.
Bagi masyarakat adat Papua, hutan lebih dari sekadar wilayah yang dipenuhi pepohonan. Hutan mengandung nilai budaya dan menjadi sumber kehidupan masyarakat di sana. Itulah alasan kenapa mereka senantiasa berupaya menjaga alamnya dengan baik.
Ironisnya, hutan Papua justru terus menyusut setiap tahunnya. Mengutip paper policy susunan Auriga Nusantara berjudul Hutan Adat (Papua) Menanti Asa, penyebab penyusutan hutan di Bumi Cendrawasih adalah penebangan hutan (deforestasi) untuk kebutuhan industri di sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
Terancam
Kini, salah satu hutan di Papua kembali terancam hancur. Merujuk penjelasan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dalam petisi berjudul “Hutan Seluas Separuh Jakarta Akan Hilang. Mahkamah Agung, Cabut Izin Sawit PT IAL!”, hutan di Kabupaten Boven Digul akan dibabat untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit oleh PT Indo Asiana Lestari (PT IAL). Luas hutan itu mencapai 36 hektare, lebih dari separuh luas Jakarta.
Masyarakat adat Marga Woro dan suku Awyu yang hidup dari hutan tersebut tentunya tidak setuju dengan keputusan itu. Mereka mengajukan gugatan terkait izin lingkungan kebun sawit PT IAL dengan didampingi Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua.
Proses gugatannya kini tengah bergulir di Mahkamah Agung (MA). Ini menjadi harapan terakhir bagi masyarakat adat Marga Woro dan suku Awyu untuk mempertahankan hutan yang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka secara turun temurun.
Selain mengajukan gugatan, masyarakat adat Papua juga menggelar aksi damai di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (27/5). Mereka menyuarakan keberatan atas upaya pembangunan kebun kelapa sawit di tanah mereka.
“Pengabaian negara terhadap kami masyarakat adat telihat jelas dalam kasus-kasus pengambilalihan dan eksploitasi kekayaan alam. Kami tidak mau hidup dengan uang. Tanpa uang pun saya hidup bertahun-tahun di hutan,” tegas Hendrikus Woro, perwakilan masyarakat suku Awyu dalam orasinya di depan gedung MA, seperti yang dilihat dari video di akun TikTok @wespeakuporg. (Hilal)