linimassa.id – Gelar haji dan hajah sudah lumrah digunakan di Indonesia. Gelar ini disematkan dan menjadi panggilan bagi mereka yang pergi berhaji ke Tanah Suci.
Di balik gelar setelah menunaikan rukun Islam kelima ini, ternyata memiliki sejarah yang tidak menyenangkan dan berkaitan dengan kolonialisme.
Sejarawan Asep Kambali dalam unggahannya di Instagram @asepkambali menjelaskan, ibadah haji dilakukan muslim Indonesia sejak lama, namun gelar formal baru diterapkan di masa penjajahan Belanda.
“Sebenarnya gelar ini pemberian Belanda. Bukan pemberian Kakbah, bukan Tuhan, bukan pula Nabi Muhammad. Nabi SAW dan sahabat menunaikan haji dan tidak menggunakan gelar,” ujar Asep.
Rasulullah SAW dan para sahabatnya bahkan berhaji lebih dari satu kali, namun tak ada gelar yang menjadi identitas di depan nama mereka. Hal serupa juga tidak dilakukan alim ulama serta pahlawan yang menunaikan haji. Sebut saja Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan Teuku Umar. Kondisi ini jelas berbeda dengan kondisi muslim saat ini dan pahlawan di era setelah mereka.
Menurut Asep, gelar haji pertama kali diterapkan pada 1916. Haji dan pelaksanaanya diatur dalam Staatsblad 1903. Setelah penerapan aturan ini, jamaah haji menerima sertifikat dan gelar di depan namanya.
Pemberian gelar haji dilatari ketakutan dan kekhawatiran Belanda terhadap paham Pan-Islamisme yang dianggap biang kerok kerusuhan, keributan, dan semangat melakukan perlawanan pada penjajah Belanda.
Pemerintah kolonial beranggapan, para jamaah haji terekspos paham yang dicetuskan Jamaluddin Al-Afghani tersebut saat berada di Mekah. Di zaman tersebut, pelaksanaan haji termasuk menuntut ilmu dengan total durasi 4 bulan.
Saat itulah, para jamaah haji berkenalan dengan Pan-Islamisme. Belanda khawatir paham tersebut diterapkan di Indonesia hingga melahirkan sejumlah perlawanan. Apalagi mereka yang telah haji dianggap sebagai orang suci dan didengarkan masyarakat umum.
Pemberian gelar haji memudahkan pemerintah kolonial mengawasi para jamaah usai pulang dari Mekah. Belanda berharap, perlawanan para haji yang kelak jadi pahlawan tersebut lebih mudah diredam.
Taktik pemerintah Belanda ini sesungguhnya sangat tepat. Karena, beberapa organisasi besar Islam dibangun usai pendirinya haji. Organisasi ini memotori gerakan perlawan dan eksis hingga kini.
- KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 1912
- KH Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926
- KH Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1905
- HOS Tjokroaminoto mendirikan Serikat Islam (SI) pada 1912.
Sifat perlawanan organisasi ini berbeda dengan sebelumnya. Perlawanan di masa awal penjajahan Belanda cenderung tidak terkoordinasi, dalam skala kecil, dan menggunakan kekuatan otot. Perlawanan ini mudah diredam dan banyak tidak tercatat dalam sejarah.
Dengan adanya organisasi pergerakan, perlawanan terhadap penjajah lebih teratur dan menggunakan siasat. Keteraturan memungkinkan perlawanan skala besar dengan dampak yang positif bagi kemerdekaan Indonesia. Penjajah tentu dirugikan dengan adanya era baru ini.
Pertimbangan itulah yang membuat Belanda menyusun ibadah haji menjadi lebih terkoordinasi. Belanda tidak melarang haji namun membuatnya terorganisasi, yang memudahkan pengawasan pada para jamaah.
Selain memberikan gelar, jamaah wajib dikarantina lebih dulu selama empat bulan saat sebelum dan sesudah menunaikan haji. Karantina tidak hanya bertujuan mencegah masuknya penyakit dari luar Indonesia. Belanda tak segan ambil tindakan pada jamaah haji yang mulai menunjukkan perlawanan selama karantina.
Perihal gelar haji ini, Guru Besar bidang Ilmu Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Syamsul Bakri, membenarkan penyematan gelar Haji hanya ada di Indonesia.
Menurutnya, meski gelar Haji telah banyak ditemukan di negara lain, tetapi dalam sejarahnya hanya ada di Indonesia. Buktinya di Timur Tengah tidak ada gelar Haji, orang Barat juga tidak bergelar Haji walaupun sudah haji
Ia juga sepakat, dahulu, orang-orang pribumi yang menunaikan ibadah haji diduga terpapar paham Pan-Islamisme, salah satu paham pemberontak kolonialisme selain komunis.
Ada dua paham lawan kolonialisme pada saat itu, yakni kelompok kiri yang dikenal dengan komunis, serta Pan-Islamisme. Penyematan gelar haji Pan-Islamisme mengajarkan bahwa umat Islam di seluruh dunia harus bersatu untuk dapat terbebas dari kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat. Paham ini, bersumber dan menyebar dari Tanah Suci, tempat Muslim menggelar ibadah haji.
Ia menegaskan, gelar Haji pemberian Belanda juga bukan merupakan gelar penghormatan. Melainkan, untuk berjaga-jaga jika mereka mempengaruhi masyarakat untuk melakukan kritik dan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial.
Begitulah asal-usul gelar haji dan hajjah di Indonesia. Jadi makin tahu, bukan? (Hilal)