PANDEGLANG, LINIMASSA – Wakil Bupati Pandeglang, Iing Andri Supriadi, menolak program pemindahan (translokasi) Badak Jawa.
Diketahui, translokasi ini dilakukan dari Semenanjung Ujung Kulon ke kawasan Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) setelah kematian seekor badak bernama Musofa di lokasi tersebut.
JRSCA yang berada di kawasan selatan Gunung Honje dengan luas sekitar 5.100 hektare merupakan bagian dari Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), yang dikembangkan sebagai perluasan habitat alami guna mendorong peningkatan populasi Badak Jawa.
Di area ini telah disiapkan fasilitas riset, pemantauan perilaku, serta upaya pengembangbiakan yang mendukung konservasi jangka panjang.
Namun kenyataannya, Musofa—badak jawa yang baru dipindahkan dari Semenanjung Ujung Kulon—tidak bertahan hidup. Ia diduga mengalami penyakit kronis yang telah berlangsung lama dan tidak dapat diselamatkan meski mendapat penanganan medis intensif.
Kabar kematian Musofa membuat Wabup Iing murka. Ia menilai translokasi terlalu berisiko bagi satwa langka tersebut.
“Kami sangat kehilangan. Badak Jawa adalah ikon Pandeglang dan keberadaannya harus dijaga dengan baik,” ujarnya, Selasa 2 Desember 2025.
Iing berharap Balai TNUK memperhatikan keamanan serta kelayakan habitat sebelum memutuskan pemindahan satwa, agar tidak terjadi insiden serupa.
Ia merasa translokasi belum memiliki kajian ilmiah yang matang dan rawan memicu stres atau gangguan kesehatan pada badak.
Ia juga menyoroti minimnya transparansi Balai TNUK terkait rencana pemindahan maupun kabar kematian Musofa.
“Seharusnya analisis lengkap disampaikan ke publik sejak awal, bukan setelah kejadian,” kata Iing.
Balai TNUK: Translokasi Badak Jawa Berstandar Internasional
Kepala Balai TNUK, Ardi Andono, menegaskan bahwa proses translokasi Musofa, Badak Jawa telah melalui perencanaan komprehensif dengan melibatkan ahli konservasi dari dalam dan luar negeri, dokter hewan, TNI, serta berbagai mitra.
Ardi menjelaskan bahwa kondisi genetik populasi Badak Jawa di alam sudah mengkhawatirkan. Berdasarkan penelitian IPB University, Badak Jawa hanya memiliki dua haplotipe genetik, dengan tingkat inbreeding haplotype 1 mencapai 58,5 persen.
Karena itu, perlu program penguatan populasi melalui breeding terarah, pemanfaatan Assisted Reproductive Technology (ART), hingga biobank.
Menurutnya, Musofa dipindahkan tanpa cedera dan menunjukkan adaptasi awal yang baik. Namun pada 7 November 2025, kondisinya menurun drastis.
Nekropsi tim SKHB IPB University menemukan penyakit kronis pada lambung, usus, dan otak, serta infeksi parasit berat dan beberapa luka lama akibat interaksi alami di habitat liar.
“Faktor tersebut menjadi tantangan medis yang tidak dapat diatasi,” ujar Ardi. Temuan ini, lanjutnya, penting sebagai dasar memperkuat deteksi dini penyakit pada populasi Badak Jawa di habitat alami.
Balai TNUK bersama akademisi dan mitra konservasi kini menyiapkan analisis lanjutan untuk meningkatkan pengelolaan kesehatan dan habitat satwa tersebut.
Ardi juga menanggapi penolakan Wabup. Menurutnya, kemungkinan Wabup belum menerima informasi lengkap mengenai translokasi, karena selama ini koordinasi lebih banyak dilakukan dengan Bupati dan pejabat teknis.
“SOP, analisis risiko, simulasi, dan semua prosedur dijalankan dengan hati-hati. Kami juga sangat berduka atas kematian Musofa,” ujarnya.
Ia meyakini Pemkab Pandeglang tetap mendukung program konservasi jangka panjang, termasuk “Operasi Merah Putih” untuk memperkuat keanekaragaman genetik Badak Jawa.



