Linimassa.id – Petani Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Pati, dengan penuh harap mengunjungi Kantor Wilayah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Jawa Tengah di Semarang pada Selasa (16/7).
Mereka membawa keluhan atas sengketa tanah yang sudah berlangsung lama dan berdampak besar pada kehidupan mereka sebagai petani.
Supriyadi (80), salah satu petani yang menjadi perwakilan kelompok, menjelaskan bahwa kunjungan tersebut bertujuan mengajukan audiensi dengan BPN guna mencari solusi atas konflik tanah yang melibatkan PT Laju Perdana Indah (PT LPI), pengelola Pabrik Gula Pakis.
Puluhan Petani Keluhkan Sengketa Tanah
“Tanah yang seharusnya untuk masyarakat kini dimanfaatkan oleh perusahaan gula tersebut,” ujar Supriyadi.
Menurutnya, lahan seluas 7,3 hektare di Desa Pundenrejo sangat berarti bagi komunitas petani karena merupakan sumber utama penghidupan mereka.
Ia menambahkan bahwa lahan yang berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) dan dikelola oleh PT LPI telah digunakan tidak sesuai dengan tujuannya.
Supriyadi berharap tanah itu kembali untuk dikelola masyarakat sebagai lahan pertanian. “Sejak 1973, lahan ini sudah salah peruntukannya dan terus berlanjut hingga saat ini,” jelasnya.
Sebagai informasi, sebelum dikuasai oleh PT LPI, tanah tersebut dulunya dikelola oleh masyarakat sejak era kolonial Belanda hingga pasca-kemerdekaan.
Namun, pasca peristiwa G30S PKI, lahan ini dikuasai oleh militer, yang membuat petani kehilangan akses. Kemudian pada tahun 1973, status lahan berubah menjadi HGB di bawah BAPPIPUNDIP, unit usaha di bawah Kodam IV Diponegoro, yang berlaku hingga tahun 2024.
Supriyadi menegaskan, sejak 1947, sebanyak 143 warga telah menggarap tanah tersebut, bahkan sebelum era penjajahan Jepang dan Belanda.
Ketidaksesuaian Lahan Pabrik Gula untuk Masyarakat
“Penggunaan lahan untuk pabrik gula tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal yang membutuhkannya untuk bertani,” jelasnya.
Sementara itu, Sumiyati (53), petani yang juga hadir, berharap agar HGB yang akan berakhir pada September 2024 bisa dikembalikan kepada warga.
Ia menuturkan, “Sejak 2020, PT LPI melarang kami mengakses lahan dan menghancurkan tanaman kami.” Sumiyati meminta pemerintah mengembalikan lahan itu kepada warga yang berhak.
Abdul Kholik, perwakilan LBH Semarang yang mendampingi petani, menegaskan bahwa lahan tersebut memiliki arti penting bagi kehidupan petani Pundenrejo.
“Sejak PT LPI mulai menggunakan lahan ini untuk bisnis pada tahun 2020, warga semakin kesulitan untuk mengakses tanah nenek moyang mereka,” ungkap Abdul.
Ia juga meminta Kementerian ATR/BPN menjalankan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020 terkait penyelesaian konflik agraria, agar BPN Jawa Tengah segera mengambil langkah nyata dalam menyelesaikan kasus ini.
Petani Desa Pundenrejo berharap suara mereka didengar dan hak atas tanah mereka dihormati. “Kami akan terus berjuang sampai tanah ini kembali ke tangan kami,” ujar Supriyadi, menunjukkan tekad mereka dalam memperjuangkan hak yang selama ini mereka nanti-nantikan. (NB)