linimassa.id – Aturan volume pengeras suara di masjid dan musala yang dikeluarkan Kementerian Agama dihujani kritik. Terlebih, setelah adanya pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang dianggap menyamakan suara azan dengan suara anjing.
Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang Selatan Dedi Mahfudin angkat suara soal kisruhnya analogi tersebut. Menurutnya, analogi tersebut hanya sekadar menggambarkan kebisingan.
“Itu kan analogi kebisingan artinya bukan menganalogikan suara azan itu sama dengan suara anjing, nggak mungkin lah. Anak SD juga nggak mungkin berani, apalagi sekelas Pak Menteri yang paham betul soal agama,” kata Dedi saat dikonfirmasi linimassa.id, Senin (28/2/2022).
Dedi menerangkan, dalam video yang beredar soal ungkapan Gus Yaqut terkait suara azan dan anjing itu jika tak dipahami secara mendalam akan muncul keributan akibat salah persepsi.
“Memang sepintas kita denger di video yang beredar itu kalau nggak cermat dan dibarengi emosi begitu jadinya. Tapi kalau cermat, harusnya konfirmasi mereka semua yang merasa nggak paham, tabayun, ini maksudnya bagaimana. Jadi nggak langsung keluarkan statement lain, bahwa itu nggak layak disampaikan oleh pejabat publik,” terangnya bela Gus Yaqut.
Dedi yang juga Ketua PCNU Kota Tangerang itu menilai, polemik soal pernyataan suara azan disamakan dengan suara anjing itu tak lepas kaitannya dengan kepentingan politik. Baik itu paska muktamar NU maupun menjelang Kongres Ansor.
“Sebetulnya ini ada kaitannya dengan kepentingan politik. Bagaimana paska muktamar, bagaimana mau kongres Ansor di tingkat pusat, menteri juga Ketum Ansor. Banyak hal, selalu dikaitkan tarikannya ke sana (politik),” paparnya.
“Apalagi bicara ormas NU dan tidak NU. Padahal harusnya dengan moderasi beragama saling menghormati, saling menyapa dan menghargai,” tambahnya.
Soal aturan volume pengeras suara dalam Surat Edaran Menteri Agama RI nomor 5 tahun 2022 tentang Pediman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala, Dedi menjelaskan, bahwa aturan tersebut hanya untuk mengatur penggunaan pengeras suara bukan melarang azan.
Misalnya, lanjut Dedi, dalam aturan itu disebutkan bahwa pengeras suara dapat diaktifkan 15-10 menit menjelang azan. Sebelum itu, sebaiknya tak dinyalakan agar tidak ada masyarakat yang merasa terganggu terlebih di lingkungan yang penganut agamanya beragam.
“Semua itu sebetulnya untuk menertibkan saja. Kalau bicara diterapkan dimana saja, harusnya sih bisa. Tetapi sejauh ini masih tahap sosialiasi, jadi belum sampai pada pembahasan sanksi untuk masjid/musola yang tak menerapkan aturan tersebut,” bebernya.
“Kita ini kan mau launching tahun toleransi, sekarang ini sedang digalakkan moderasi bergama agar kita menjadi orang-orang moderat yang bisa menghargai, menghormati sesama antar umat beragama. Ini Pak Menteri tuh arahnya ke sana,” pungkasnya. (red)