linimassa.id – Di tengah gempuran teh celup, ternyata masih ada yang memproduksi teh dengan cara manual. Inilah teh kejek. Teh legendaris ini diproses dengan diinjak-injak.
Laman Good News from Indonesia menyebut, Garut tidak hanya dikenal dengan kuliner khasnya yaitu dodol tapi juga memiliki teh tradisional dengan cita rasa yang sangat khas. Teh ini masih mempertahankan cara tradisional.
Teh ini diyakini muncul sejak awal 1900 an, hingga kini proses pembuatan teh tersebut masih mempesona. Dalam bahasa Sunda, kejek berarti diinjak. Daun teh yang telah disangrai lantas diinjak-injak di parit panjang.
Ini bertujuan menyempurnakan proses mengeluarkan getah daun teh agar didapat hasil fermentasi yang lebih baik. Biasanya mereka menginjaknya layaknya gerakan orang yang tengah berjalan di atas treadmil.
Dulu, menginjaknya pakai kaki telanjang. Sekarang agar lebih bersih mereka selalu menggunakan sepatu plastik.
Pengeringan
Setelah diinjak, lalu tahap pengeringan. Caranya daun teh disimpan di atas tungku api. Setelah daun teh dikeringkan, daun teh kembali di sangrai memastikan daun benar-benar kering.
Kemudian masuk ke proses pengayakan. Proses ini untuk memisahkan daun teh dengan tangkainya. Untuk mempercepat proses produksi dikarenakan jumlah pesanan teh yang semakin tinggi, biasanya pabrik sudah menggunakan mesin.
Penggunaan mesin ini tidak menghilangkan cara tradisionalnya, hanya untuk mempercepat waktu produksinya. Kemudian teh yang sudah selesai diproses akan didistribusikan ke pasar tradisional.
Asal Mula
Meski tidak ada catatan resmi mengenai asal usul teh kejek Garut, namun banyak dugaan munculnya teh kejek bermula dari usaha perkebunan teh Waspada yang dirintis Karel Frederik Holle di daerah yang kini masuk wilayah Cikajang, dan Cigedug pada 1865.
Selain merekrut warga setempat, Holle dibantu pekerja asal Tionghoa yang berpengalaman membudidayakan dan mengolah teh menjadi siap seduh.
Proses demi proses membuat teh kejek sama dengan yang biasa dilakukan pembuat teh di Tiongkok dan Eropa.
Perbedaannya, dari sisi teknologi. Bila beberapa perusahaan pembuat teh menggunakan mesin pemanas dan penggilingan raksasa, kejek masih menggunakan kayu bakar dan diinjak-injak.
Banyak Peminat
Walu masih menggunakan cara tradisional, teh kejek banyak peminatnya. Banyak rumah produksi kejek yang bermunculan karena tingginya permintaan konsumen.
Bahkan karena konsumsi yang tinggi, perlahan memicu kebiasaan minum teh baru, tradisi nyaneut. Dalam bahasa Indonesia, nyaneut artinya air yang menghangatkan karena bisa diminum pagi dan sore.
Nnyaneut menjadi sarana silaturahmi warga. Berbagai masalah kerap dibahas. Banyak persoalan diselesaikan bersama-sama, mulai dari saat musim panen atau membahas hama penyakit yang kadang-kadang dating.
Berdasarkan data Dinas Perkebunan Jabar tahun 2015, luas kebun teh rakyat tempat Holle di Cikajang yang tadinya mencapai 800 hektare pada 1996 tinggal 148 hektare pada 2015. Di Cigadung, luas lahan 450 hektare juga merosot menjadi 55,4 hektare.
Hal ini membuat baku teh terbaik sulit didapatkan. Dari kemampuan menampung daun teh segar 100 kg per hari, menjadi sekitar 25 kg per hari. Bahkan produksi kerap berhenti di tengah jalan jika pada saat yang bersamaan kebun teh rakyat terserang hama.
Ini yang membuat satu per satu rumah produksi tumbang. Dari awalnya empat rumah produksi di Cigedug, kini tinggal rumah produksi Oos Affandi yang bertahan.
Usaha teh kejek ini dirintis sejak 1993. Di tengah keterbatasan, usaha ini tetap bertahan. (Hilal)