linimassa.id – Dari beragam jenis buah, apel cukup dikenal banyak orang di berbagai belahan dunia. Warna kulit buah apel yang sudah matang beragam. Ada apel yang berwarna merah, hijau, merah muda, dan kuning.
Ada juga beberapa kultivar apel yang buahnya berwarna campuran, dari kuning ke merah muda, atau merah muda ke merah.Pada kulit apel dilindungi oleh semacam lapisan lilin transparan.
Orang mulai pertama kali menanam apel di Asia Tengah. Kini apel berkembang di banyak daerah di dunia yang suhu udaranya lebih dingin.
Nenek moyang tanaman apel atau apel liar adalah spesies Malus sieversii. Jenis ini ditemukan tumbuh liar di pegunungan Asia Tengah bagian selatan, tepatnya di Kazakhstan, Kyrgyztan, Tajikistan, dan Xinjiang, China.
Budidaya Malus sieversii diperkirakan pertama kali dilakukan di pegunungan Tian Shan. Jenis apel ini kemudian tersebar ke seluruh dunia dan dikembangkan menjadi kultivar-kultivar lain dengan hasil buah berkualitas lebih baik.
Nama ilmiah pohon apel dalam bahasa Latin ialah Malus domestica. Apel budi daya adalah keturunan dari Malus sieversii asal Asia Tengah, dengan sebagian genom dari Malus sylvestris (apel hutan/apel liar).
Kebanyakan apel bagus dimakan mentah atau tidak dimasak, dan juga digunakan banyak jenis makanan pesta. Apel dimasak sampai lembek untuk dibuat saus apel. Apel juga dibuat untuk menjadi minuman sari buah apel.
Asal Mula
Pohon apel merupakan tumbuhan awal yang menjadi tanaman pertanian; buah-buahannya diperbaiki melalui proses seleksi selama ribuan tahun.
Iskandar Agung dihargai karena menemukan tumbuhan apel kerdil di Asia Kecil pada tahun 300 SM. Apel musim dingin, yang dipetik pada akhir musim gugur dan disimpan dalam suhu yang sedikit melebihi titik beku, telah menjadi makanan penting di Asia dan Eropa selama ribuan tahun, dan juga di Argentina dan Amerika Serikat sejak kedatangan bangsa Eropa.
Apel dibawa masuk ke Amerika Utara bersama kolonis pada abad ke-17. Pada abad ke-20, proyek irigasi di negeri Washington dilancarkan untuk memacu pembangunan industri buah bernilai ribuan jutaan dolar, yang dipelopori oleh spesies apel.
Hingga abad ke-20, petani menyimpan apel dalam bilik-bilik antibeku pada musim dingin untuk mereka jual sendiri. Transportasi apel segar karena kereta dan jalan yang terus berkembang berhasil menghilangkan kebutuhan untuk penyimpanan.
Kemudaan Abadi
Dalam mitologi Nordik, dewi Iðunn digambarkan dalam prosa Snorra Edda (karya Snorri Sturluson abad ke-13) sebagai penyedia apel yang memberikan kemudaan abadi kepada dewa-dewi.
Cendekiawan Inggris, H. R. Ellis Davidson, mengaitkan apel dengan praktik keagamaan dalam paganisme Jermanik yang melahirkan agama Nordik.
Ia menunjukkan bahwa keranjang-keranjang berisi apel yang ditemukan di situs pemakaman kapal Oseberg di Norwegia, dan apel dan biji (Iðunn dikisahkan berubah menjadi biji dalam Skáldskaparmál) yang ditemukan di kuburan lama orang Jermanik di Inggris dan benua Eropa, mungkin membawa arti simbolik, dan biji masih merupakan lambang kesuburan yang penting di Inggris barat daya.
Davidson memperhatikan hubungan antara apel dan Vanir, suku dewa-dewi yang dikaitkan dengan kesuburan dalam mitologi Nordik, dengan mengutip contoh kisah Skírnir (utusan Freyr, dewa Vanir utama) yang menggunakan sebelas biji “apel emas” untuk memikat Gerðr, seperti yang tertulis dalam stanza 19 dan 20 Skírnismál.
Davidson juga memperhatikan lagi hubungan antara kesuburan dan apel dalam mitologi Nordik, dalam bab 2 saga Völsunga, ketika dewi Frigg mengirim apel ke Raja Rerir yang berdoa memohon anak kepada Odin.
Utusan Frigg (yang berbentuk burung gagak) menjatuhkan apel itu di pangkuannya ketika dia duduk di atas gundukan.
Setelah memakan apel itu, permaisuri Rerir hamil selama enam tahun, lalu melahirkan seorang anak yang bernama Völsung.
Lebih jauh lagi, Davidson menunjuk frasa “Apel Hel” yang digunakan dalam puisi abad ke-11 buatan skald Thorbiorn Brúnarson. Ia menyatakan bahwa frasa tersebut mungkin merupakan tanda bahwa apel diduga sebagai makanan orang mati oleh sang skald. Lebih lagi,
Davidson mencatat bahwa dewi Jermanik Nehalennia kadang-kadang digambarkan dengan apel dan paralelnya ada pada kisah-kisah Irlandia awal.
Ia menyatakan bahwa sementara penanaman apel di Eropa Utara telah ada semenjak masa Kekaisaran Romawi dan datang ke Eropa dari Timur Dekat, varietas apel yang tumbuh di Eropa Utara berbentuk kecil dan terasa pahit.
Davidson menyimpulkan bahwa dalam figur Iðunn, “kita harus memiliki bayangan kabur mengenai simbol lama: dewi pelindung buah pemberi kehidupan dari dunia lain.”
Mitologi
Kisah apel terdapat dalam berbagai tradisi keagamaan, baik sebagai benda mistik maupun terlarang. Salah satu masalah yang dihadapi ketika mengidentifikasi apel dalam keagamaan, mitologi dan cerita rakyat, adalah bahwa kata “apel” digunakan sebagai istilah umum untuk segala buah-buahan asing selain berry, dan termasuk kacang, hingga abad ke-17.
Misalnya, dalam mitologi Yunani, Herakles diharuskan pergi ke Kebun Hesperides untuk memetik apel emas dari Pokok Kehidupan di tengah-tengah kebun itu sebagai satu dari dua belas tugasnya.
Dewi perselisihan Yunani, Eris, kecewa setelah disisihkan dari upacara pernikahan Peleus dan Thetis, lalu membalas dengan melontarkan apel emas yang terukir kata Καλλίστη (Kalliste, ‘untuk yang tercantik’), ke dalam pernikahan itu.
Apel itu dituntut oleh tiga dewi, yaitu Hera, Athena, dan Aphrodite. Paris dari Troy diangkat untuk memilih penerimanya. Setelah disuap oleh Hera dan Athena, Aphrodite memikat Paris dengan perempuan paling jelita di dunia, yaitu Helen dari Sparta. Paris memberikan apel itu ke Aphrodite, maka secara tidak langsung memicu Perang Troya.
Di Yunani kuno, apel adalah buah suci dewi Aphrodite, maka tindakan melempar apel ke arah seseorang adalah simbol pernyataan cinta kepadanya; begitu juga, orang menyambut apel merupakan lambang penerimaan cinta.
Atalanta, juga dari mitologi Yunani, berlomba dengan teman pelamarnya dalam upaya menghindari pernikahan. Ia mengatasi mereka semua kecuali Hippomenes (atau Melanion, nama yang mungkin berasal darimelon, yaitu kata Yunani yang berarti “apel” atau buah-buahan umumnya), yang mengalahkannya bukan karena kecepatan tetapi dengan cara licik. Hippomenes sadar bahwa dirinya tidak dapat memenangkan perlombaan secara adil, sehingga ia menggunakan tiga apel emas (karunia Aphrodite, dewi cinta) untuk memindahkan perhatian Atalanta.
Setelah berlari secepat mungkin sambil memanfaatkan ketiga apel itu, Hippomenes akhirnya berhasil memenangkan perlombaan dan hati Atalanta. (Hilal)