Linimassa.id – Sudah tahu belum kalau ada Hari Internasional Penghilangan Paksa di 30 Agustus 2024? Simak yuk apa maksud peringatan ini.
Laman detikBali menyebut, Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional adalah sebuah pengertian global untuk mengutuk tindakan kejam serta mendorong tindakan kolektif untuk melindungi martabat manusia dan hak asasi manusia.
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan peringatan ini sebagai seruan untuk melawan penculikan paksa secara brutal yang merampas Hak Asasi Manusia (HAM) dan merendahkan hakikat kemanusiaan.
Pada 21 Desember 2010, Majelis Umum PBB, melalui Resolusi No. 65/209, menyatakan penghilangan paksa telah terjadi di banyak negara, sehingga hal ini menjadi masalah serius yang harus ditangani secara serius dan kolektif oleh komunitas internasional.
Upaya ini merupakan kelanjutan dari Deklarasi 18 Desember 1992 tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
Sejak deklarasi tersebut, Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa diratifikasi pada 20 Desember 2006.
Konvensi ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan kerangka hukum di tingkat global untuk mencegah dan menyelesaikan kasus penghilangan paksa di masa depan.
Kasus Penghilangan Paksa di Indonesia
1. Hilangnya Aktivis Politik Tahun 1997-1998
Dilansir pada KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), penculikan dan penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998 terjadi pada Pemilihan Presiden Republik Indonesia (Pilpres) periode 1998-2003.
Ada dua agenda politik besar pada saat itu yakni Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis Rakyat (MPR) pada bulan Maret 1998 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pada saat itu masih dijabat oleh Soeharto.
Kasus penculikan dan penghilangan paksa terjadi pada aktivis, generasi muda, dan mahasiswa yang ingin membela keadilan dan demokrasi pada masa pemerintahan Orde Baru.
Mereka yang mengkritik kebijakan pemerintah dipandang sebagai kelompok yang mengancam dan melemahkan wibawa negara. Ide dan pemikiran mereka dipandang sebagai ancaman yang dapat mengganggu fungsi pemerintahan.
Terdapat 9 korban yang berhasil kembali dari penculikan, sedangkan 13 korban lainnya masih dinyatakan hilang dan belum dikembalikan hingga detik ini.
2. Kasus Tanjung Priok 1984
Pada 10 September 1984, kabar tersebut tersebar di lingkungan Gang 4 Koja. Diberitakan pada 8 September 1984, seorang Babinsa (Bintara Pembina Desa) setempat bernama Sertu Hermanu memasuki musala tanpa melepaskan sepatunya.
Kabar tersebut semakin memicu kemarahan ketika terungkap bahwa Babinsa juga menggunakan air kotor dari selokan untuk menghapus pamflet berisi protes terhadap asas Pancasila dan kebijakan pemerintah lainnya yang ditempel di papan pengumuman mushola.
Sebelum penangkapan, situasi di Jakarta Utara, khususnya Tanjung Priok, sudah cukup panas. Sebab, karena banyaknya kajian agama yang menolak penerapan asas tunggal Pancasila, memihak etnis Cina dan kebijakan pemerintah lainnya, sehingga emosi dan semangat masyarakat untuk menentang pemerintah pun ikut melintas.
Memang, isu penghapusan Piagam Jakarta dan penerapan asas tunggal Pancasila sudah menjadi perbincangan hangat sejak awal 1980-an. Ulama dan mubaligh yang berkonsultasi memutuskan untuk menyelenggarakan serangkaian Tabligh Akbar di Jakarta dan sekitarnya.
Akibat ceramah-ceramah yang provokatif tersebut, emosi para peserta tabligh yang sebagian besar berasal dari kalangan bawah, terdiri dari berbagai suku dan tinggal di daerah padat penduduk, semakin tidak stabil dan muncul kericuhan.
Terdengar suara tembakan dari arah polisi yang menghadang, membuat massa panik saat tembakan diarahkan ke arah mereka. Durasi penembakan sekitar 5-10 menit. Banyak rekannya yang terjatuh akibat tembakan, ada yang luka-luka dan ada pula yang tewas di tempat.
Menurut Panglima ABRI saat itu, L.B. Moerdani mencatat 18 orang tewas dan 53 orang luka-luka, sedangkan laporan investigasi Komnas Perempuan menemukan 23 orang tewas, 36 orang luka-luka, dan 19 orang luka tidak dirawat, sehingga totalnya berjumlah 78 orang.
3. Kasus Talangsari 1989
Dikutip dari detikSumut, kekerasan yang terjadi dalam konteks peristiwa Talangsari merupakan tindakan berlebihan yang dilakukan sebagai kelanjutan dari kebijakan pemerintahan Soeharto. Kebijakan ini terlihat pada penyerangan yang dilakukan tentara (ABRI) terhadap warga sipil.
Selain itu, kasus ini dilanjutkan dengan persidangan, penangkapan, penyiksaan, penangkapan dan persidangan terhadap para korban dan pihak yang terlibat dalam kasus Talangsari.
Hasil survei pro-keadilan Komnas HAM (2006) menyebutkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat seperti pembunuhan terhadap 130 orang, deportasi paksa 77 orang, perampasan kemerdekaan 53 orang, penyiksaan terhadap 46 orang dan penganiayaan terhadap sedikitnya 229 orang. (*)