linimassa.id – Tasbih merupakan salah satu media yang dipergunakan untuk berzikir. Ternyata benda ini sudah dikenal secara luas, bahkan pada masa sebelum Islam.
Di Timur Tengah, benda ini disebut dengan nama subhah. Dalam bahasa Sanskerta kuno, tasbih disebut dengan nama jibmala.
Untuk asal muasal benda ini masih simpang siur. Tidak ada sumber resmi yang menerangkan asal muasal benda ini. Ada literatur umat Budha menggunakan media semacam tasbih dengan hitungan sebanyak 180 butir.
Syekh Bakr bin Abdillah Abu Zaid dalam Da’iratul-Ma’arif Al-Islamiyyah 11/233-234 dan Al-Mausu’at Al-‘Arabiyyah Al-Muyassarah 1/958 menyebut alat serupa tasbih juga digunakan dalam agama Katolik. Bedanya, tasbih kaum Katolik hanya terdiri dari 50 biji.
Benda ini ini relatif kecil, dan dibagi oleh empat biji pemisah dengan biji tasbih besar. Sedangkan mata tasbih ditandai dengan tanda salib.
Sejarah
Alat ini memiliki sejarah yang panjang. Syaikh Bakr Abu Dzaid menyebut, tasbih sudah dikenal sejak sebelum Islam. Pada 800M orang-orang Budha sudah menggunakan tasbih dalam ritualnya.
Begitu juga Al Barahimah di India, pendeta Kristen dan Rahib Yahudi. Dari India inilah kemudian berkembang ke benua Asia.
Orang-orang Katolik juga menggunakan limapuluh biji tasbih kecil yang dibagi empat yang diberi pemisah dengan biji tasbih besar dengan jumlah yang sama. Juga dijadikan sebagai kalung yang terdiri dari dua biji besar dan tiga biji kecil, kemudian “matanya” dibuat dengan tanda salib. Mereka membaca puji Tuhan dengan biji tasbih yang besar, dan membaca pujian Maryamiyah dengan biji tasbih yang kecil.
Orang-orang Budha diyakini sebagai orang yang pertama menggunakan tasbih untuk menyelaraskan antara perbuatan dan ucapannya ketika sedang melakukan persembahyangan. Juga dilakukan oleh orang-orang Hindu di India, dan dipraktikkan oleh orang-orang Kristen pada abad pertengahan.
Perkembangan tasbih yang pesat terjadi pada abad 15 M dan 16 M. Dalam kitab Musaahamatul Hindi disebutkan, orang-orang Hindu terbiasa menggunakan tasbih untuk menghitung ritualnya. Sehingga menghitung dzikir dengan tasbih diakui sebagai inovasi dari orang Hindu (India) yang bersekte Brahma. Dari sinilah menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Para ahli sejarah bersepakat, orang-orang Arab Jahiliyah tidak mengenal istilah dan penggunaan tasbih dalam peribadatan mereka. Itulah sebabnya, satu pun tidak ada syair jahiliyah yang menyebutkan kalimat tasbih.
Ini merupakan istilah yang mu’arrabah (diarabkan). Begitu juga pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Mereka tidak mengenal istilah tasbih, apalagi menggunakannya. Hal ini berlangsung sampai akhir masa tabi’in.
Jika mendapatkan sebuah hadits yang memuat lafadz “subhah” jangan sekali-kali membayangkan, bahwa makna lafadz tersebut adalah alat tasbih, seperti yang dipakai oleh orang sekarang ini. Karena, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dengan sahabat dan umatnya dengan bahasa yang mereka pahami dan ketahui. Sedangkan tasbih -seperti yang beredar sekarang ini- tidak dikenal oleh sahabat dan juga tabi’in.
Bid’ah
Pada akhir masa tabi’in ada orang yang menghitung dzikirnya dengan kerikil atau biji korma (tanpa dirangkai), maka para sahabat, seperti Abdullah bin Mas’ud mengingkari dan melarangnya dengan keras; menganggapnya melakukan perbuatan bid’ah yang besar.
Begitu pula yang dilakukan oleh Ibrahim An Nakhai, seorang tabi’in senior, telah melarang puterinya melakukan perbuatan seperti itu, sebagaimana sebelumnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingkari Shafiyah dan memberitahukannya perbuatan yang lebih baik dan afdhal.
Banyak atsar sahabat dan tabi’in yang menunjukkan, bahwa mereka mengingkari orang yang menggunakan bijian atau kerikil untuk menghitung dzikirnya. Di antara atsar tersebut ialah:
Atsar Aisyah, yaitu ketika melihat seorang wanita dari Bani Kulaib yang menghitung dzikirnya dengan bijian. Aisyah berkata,”Mana jarimu?”
Atsar Abdullah bin Mas’ud, dari Ibrahim berkata:
كَانَ عَبْدُ اللهِ يَكْرَهُ العَدَّ وَيَقُوْلُ أَيَمُنُّ عَلَى اللهِ حَسَنَاتِهِ
Abdullah bin Mas’ud membenci hitungan (dengan tasbih) dan berkata,”Apakah mereka menyebut-nyebut kebaikannya di hadaan Allah?”
Atsar dari Ash Shalat bin Bahram, berkata: Ibnu Mas’ud melihat seorang wanita yang bertasbih dengan menggunakan subhah, kemudian beliau memotong tasbihnya dan membuangnya. Beliau juga melewati seorang laki-laki yang bertasbih menggunakan kerikil, kemudian memukulnya dengan kakinya dan berkata,”Kamu telah mendahului (Rasulullah) dengan melakukan bid’ah yang dzalim, dan kamu lebih tahu dari para sahabatnya.”
Atsar dari Sayyar Abi Al Hakam, bahwasanya Abdullah bin Mas’ud menceritakan tentang orang-orang Kufah yang bertasbih dengan kerikil di dalam masjid. Kemudian beliau mendatanginya dan menaruh kerikil di kantong mereka, dan mereka dikeluarkan dari masjid. Beliau berkata,”Kamu telah melakukan bid’ah yang zhalim dan telah melebihi ilmunya para sahabat Nabi.”
Atsar dari Amru bin Yahya; dia menceritakan pengingkaran Abdullah bin Mas’ud terhadap halaqah di masjid Kuffah yang orang-orangnya bertasbih, bertahmid dan bertahlil dengan kerikil.
Menggunakan tasbih sebagai alat menghitung zikir juga disebut kelompok yang menolak sebagai perbuatan bid’ah.
Sementara kalangan yang membolehkan berpendapat anjuran untuk menghitung zikir dengan jari seperti dalam hadis tersebut bukan berarti mengharamkan cara lain. Dalam sejumlah hadis lain didapati, para shahabiyah juga mempergunakan media seperti batu dan biji kurma untuk menghitung zikir. Tapi hal ini tidak mendapatkan penolakan dari Rasulullah SAW.
Seperti sebuah hadis dari istri Rasulullah SAW, Shofiyah yang mengisahkan ketika suatu kali suaminya SAW datang kerumahnya. Rasulullah SAW melihat ada 4 ribu biji kurma dan menanyakannya.”Hai Binti Huyay, apakah itu?” Shofiyyah pun menjawab, “Itulah yang kupergunakan untuk menghitung zikir”.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya engkau dapat berzikir lebih banyak dari itu”. Shofiyyah menyahut, “Ya Rasulallah, ajarilah aku”. Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Sebutlah, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya”. (HR Tirmizi, Hakim, dan Thabrani).
Dari hadis ini beberapa ulama berpendapat Rasulallah SAW tidak melarang istrinya Shofiyyah menggunakan biji kurma untuk menghitung zikirnya. Malah Beliau SAW memesankan bahwa Shofiyah bisa berdzikir lebih banyak dari itu.
Sahabat lain seperti Abu Hurairah RA juga mempergunakan media lain untuk berzikir. Seperti diriwayatkan Abu Dawud, Abu Hurairah sebuah kantong berisi batu kerikil yang ia gunakan untuk berzikir. Abu Syaibah yang mengutip hadis Ikrimah juga mengatakan, bahwa Abu Hurairah mempunyai seutas benang dengan bundelan seribu buah. Ia baru tidur setelah berdzikir dua belas ribu kali.
Sejumlah pakar sejarah Islam juga menolak bahwa tasbih merupakan warisan budaya Budha atau Hindu. Alasannya, tidak ada sumber valid yang bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya.
Tasawuf
Sidi Gazalba menyebut, yang membawa masuk alat tersebut ke dunia Islam dan yang pertama kali memperkenalkannya ialah kelompok-kelompok thariqat atau tasawuf. Menurutnya, ini sebagai hasil kombinasi pemikiran antara Islam dengan Yahudi, Kristen, Manawi, Majusi, Hindu dan Budha serta mistik Pytagoras.
Sehingga, sampai sekarang hampir semua kelompok-kelompok thariqat dan pengikut tasawuf menjadikan alat tasbih ini sebagai bagian dari ibadah mereka. Bahkan, tidak jarang pula mengalungkan tasbih di leher, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Hindu, Budha dan Pendeta Kristen; menjadikannya sebagai wasilah (perantara) untuk mengobati orang sakit atau hajat lainnya dengan membasuhnya dan meminum airnya.
Seorang tokoh sufi Al Bannan dalam kitabnya Minhah Ahlul Futuhat Wal Zauq menyebutkan, penggunaan jari tangan hanya dilakukan oleh orang-orang yang dzikirnya sedikit, yaitu seratus atau yang kurang dari itu.
Adapun ahlu dzikir wal aurad (istilah untuk mereka yang “banyak dzikirnya” di kalangan sufi dan tharikat), kalau mereka menggunakan jarinya untuk menghitung dzikirnya yang banyak, pasti banyak salahnya dan disibukkan dengan jarinya.
Dalam tradisi Islam, tasbih digunakan untuk berzikir, terutama ketika selepas shalat. Jadi, tasbih dibagi menjadi tiga kelompok yang masing-masing berjumlah 33 biji tasbih. Hal ini sesuai dengan tuntunan zikir selepas shalat, yakni 33 kali kalimat subhanallah, 33 kali alhamdulillah, dan 33 kali Allahu akbar.
Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi penggunaan tasbih. Ada ulama yang memperbolehkan tasbih untuk berzikir namun ada juga yang menolaknya. Bagi ulama yang menolak, tasbih bukan tradisi yang berasal dari Islam.
Seorang Muslim hendaknya mencukupkan diri menghitung bilangan zikir dengan tangan sesuai hadis dari Umar bin Khattab RA. “Rasulullah SAW menghitung zikirnya dengan jari-jari dan menyarankan para sahabatnya supaya mengikuti cara beliau.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, an-Nasai dan al-Hakim).
Begitulah tasbih yang ternyata tidak hanya digunakan satu agama. Di luar kontroversi, tasbih memiliki kegunaan untuk membantu menghitung supaya tidak lupa. (Hilal)