linimassa.id – Sebelum identik dengan para Wanita untuk bergaya, high heels lebih dulu populer dipakai untuk laki-laki.
Bukan laki-laki biasa, tapi mereka para bangsawan, bahkan pasukan berkuda. Pada abad ke-9, pasukan berkuda asal Persia menambahkan hak tinggi di sepatu bot mereka untuk menopang kaki pada sanggurdi.
Fungsinya untuk membantu menjaga keseimbangan tubuh saat memanah dan menembak. Sejak saat itu, sepatu hak tinggi atau yang kini disebut heels, melambangkan kekuatan, kecakapan militer, tingginya kelas sosial, dan memiliki selera fesyen yang baik.
Dulu, pada abad ke-15 heels digunakan oleh para penunggang kuda pada bagian belakang sepatu boots cowboy mereka. Fungsinya adalah untuk membuat kaki penunggang tidak terpeleset dan tetap berada pada pijakan kaki saat berada di atas kuda.
Kala itu, seorang laki-laki yang bekerja di kedutaan besar Persia pada masa itu, Shāh Abbās, membawa high heels modern dari Persia ke Eropa. Sejak saat itu, high heels menjadi barang yang berkelas. Laki-laki mulai mengenakan heels untuk menunjukkan status sosial mereka. Hanya orang-orang kaya saja yang dapat mengenakan sepatu mewah ini.
Sepatu ini naik pangkat, saat Raja Louis XIV menjadi sosok paling terkenal di masanya yang menggunakan heels. Ia dianggap merepresentasikan maskulinitas.
Dalam catatan Google Arts & Culture, Raja Louis XIV dikenal sebagai “King of Heels” dan menyatakan hanya bangsawan yang diperkenankan memakai sepatu tersebut. Di bawah pemerintahannya, fesyen menjadi simbol privilese dalam berpolitik. Kuasa pemakainya dinilai berdasarkan tinggi dan seberapa pekat warna merah pada sepatu.
Bukan hanya orang-orang Persia, kalangan elit Eropa pun juga menjadikan high heels sebagai simbol status sosial, seperti yang dilakukan oleh Raja Louis XIV, raja dari Prancis.
Oleh karena itu, ketika banyak orang mulai memakai sepatu ini, masyarakat elit mulai meminta agar heels mereka dibuat lebih tinggi untuk membedakan status mereka dengan masyarakat dari kelas bawah.
Demi kepentingan bersama, pihak berwenang di Eropa membuat peraturan khusus untuk high heels. Mereka membagi tingginya heels berdasarkan status sosial masyarakatnya. Tinggi heels 1.3 cm untuk rakyat jelata, 2.5 cm untuk para borjuis, 3.9 cm digunakan para ksatria, 5 cm untuk bangsawan, dan 6.3 cm untuk para pangeran.
Saat peradaban berganti dan ilmu pengetahuan mulai dikenal oleh masyarakat Eropa, laki-laki secara bertahap berhenti mengenakan high heels. Setelah Revolusi Prancis pada akhir tahun 1780-an, high heels mulai menjadi simbol feminitas. Sepatu hak tinggi ini pun menjadi sangat dekat dengan perempuan.
High Heels Perempuan
Perempuan mulai mengenakan heels pada abad ke-16. Tren itu dimulai Ratu Perancis Catherine de Medici yang ingin kelihatan lebih tinggi di hari pernikahannya. Banyak perempuan mengikuti sang ratu, yang akhirnya memakai platform shoes berhak tinggi, mencapai 60 sentimeter.
Menurut podiatris dan sejarawan sepatu Cameron Kippen, sepatu itu berisiko membuat perempuan terjatuh, bahkan menyebabkan keguguran pada perempuan hamil.
Supaya lebih aman, para pembuat sepatu mengukir bagian depan dan membuat haknya lebih tinggi.
Sejak abad ke-18, terdapat perbedaan signifikan pada model heels laki-laki dan perempuan. Laki-laki cenderung lebar dan kokoh, sedangkan perempuan berbentuk lebih lancip seperti yang digunakan saat ini.
Perbedaan ini mencerminkan konstruksi sosial yang mulai memetakan fesyen berdasarkan gender. Hal-hal yang dianggap maskulin dilekatkan ke koridor laki-laki, sementara yang feminin dilekatkan pada perempuan. Masa itu, laki-laki mulai mengenakan pakaian yang lebih praktis.
Inovasi heels yang terus berubah, ternyata dianggap tidak rasional dan praktis buat pria. Alhasil, sepatu hak tinggi dianggap konyol dan tidak maskulin, sehingga laki-laki berhenti mengenakannya.
Walau begitu, sebagian laki-laki masih mengenakan English silk shoe, sepatu berhak rendah berpita besar, untuk dikenakan dengan gaun pengadilan. Atau Hessian boot yang melengkapi celana pantalon, maupun yang dipakai para koboi.
Setelah Perang Dunia, sepatu hak tinggi dalam industri fesyen Barat semakin berkembang melalui film dan fotografi, terutama heels dengan model tumit dan ujung kaki terbuka berwarna cokelat dan putih.
Penelitian Paul Morris, dkk, dalam High Heels are Supernormal Stimuli: How Wearing High Heels Affects Judgements of Female Attractiveness (2013) bahkan mencatat, perubahan fungsi heels di dunia kerja. Ia mulai dilihat sebagai bagian dari seragam kerja perempuan yang ingin dianggap profesional.
Sementara di dunia fesyen, heels dipotret sebagai ikon yang tak boleh dilepas perempuan jika tak ingin dianggap fashionable, karena memberi efek kaki jenjang pada pemakainya.
Heels makin popular saat bintang-bintang besar seperti Marilyn Monroe dan Rita Hayworth mengenakannya di film-film era itu. Makin beken ketika stileto, ciptaan desainer asal Prancis Roger Vivier dan André Perugia, menjadi fesyen item wajib yang dimiliki perempuan di 1990-an.
Pada 2013 desainer sepatu Christian Louboutin, membuktikan proses seksualisasi heels itu ketika mengatakan kepada fotografer Garance Doré, bahwa sepatu berhak tinggi membuat perempuan berjalan lebih lambat, memberikan waktu lebih banyak bagi laki-laki untuk menatapnya.
Ini bukti bahwa desain yang dirancang laki-laki sering kali mengutamakan estetika dan melupakan fungsi, serta kenyamanan perempuan dalam menggunakannya. Padahal ada kebanyakan merk high heels ternama, dirancang oleh desainer laki-laki, seperti Steve Madden, Jimmy Choo, Stuart Weitzman, dan Manolo Blahnik.
Saat gagasan tentang “fashion has no gender” makin populer di industri fesyen, fungsi heels juga turut berubah. Ia tak lagi cuma milik perempuan. Banyak jenama raksasa fesyen mulai memproduksi sepatu berhak tinggi untuk semua gender.
Saat ini high heels dipakai untuk dapat menunjang penampilan perempuan dan membuat mereka merasa lebih percaya diri karena postur tubuhnya tampak lebih tinggi dan tegap. Mereka bisa memadukannya dengan segala macam busana, mulai dari glamor, edgy, hingga kasual sekalipun.
Psychology Today menyebut, tingginya hak pada high heels dapat membuat tubuh perempuan lebih tegap, bokong mereka tampak lebih terangkat, dan kaki mereka terlihat lebih jenjang dan kecil. Hal-hal tersebut yang dinilai dapat meningkatkan rasa percaya diri seorang perempuan ketika mereka harus tampil di depan publik.
Menurut studi dari Prancis perempuan, yang mengenakan high heels lebih mendapat banyak perhatian dari laki-laki ketimbang mereka yang mengenakan flat shoes. Menurut sebagian laki-laki, perempuan dengan high heels terlihat lebih seksi.
Mengenakan high heels membuat perempuan terlihat memiliki kaki yang lebih panjang dan membuat postur mereka lebih seksi. Hal ini bisa membuat sebagian pria menganggap perempuan yang pakai high heels lebih siap secara seksual dan mudah didekati. (Hilal)