linimassa.id – Dasi yang terpasang manis di leher, ternyata diciptakan bangsa Kroasia. Saat itu, pakaian tradisional mereka dengan sehelai sapu tangan yang diikatkan ke leher terlihat sangat menarik masyarakat Prancis.
Dasi digunakan para pria saat menggunakan setelan jas atau tuxedo dan pantalon dalam acara-acara formal. Penggunaan dasi memberikan aksen yang sangat kuat bagi pakaian dan pemakainya. Dasi tak bisa dilepaskan dari citra eksklusif dan eksekutif bagi pria.
Menurut Asosiasi Aksesori Leher Amerika, aksesori satu ini punya sejarah panjang yang melilit perkembangannya. Sejak zaman batu pun aksesori di leher dan dada sudah ada, khususnya untuk memberi ciri pada kelompok pria dari strata tinggi.
Malah, pada masa Romawi Kuno sudah dipakai kain untuk melindungi leher dan tenggorokan, khususnya oleh para juru bicara. Pada perkembangannya prajurit militer Romawi pun memakainya. Bukti dipakainya aksesori kain leher tampak pada patung batu di makam kuno, Xian, Tiongkok.
Pada masa itu, para juru bicara kekaisaran sudah memakai kain untuk melindungi leher mereka. Para prajurit Romawi pun mengenakan kain yang sama. Hanya saja, bentuk kain yang dipakai saat itu belum seperti dasi yang lazim ditemukan di zaman sekarang.
Penggunaan dasi dengan variasinya, ditemukan di beragam tempat. Pada masa kepenyairan William Shakespeare (1564-1616) di Inggris, aksesori leher sudah populer dengan sebutan ruff. Jika dicermati, ruff adalah semacam kain putih yang dibuat dengan seni melipat yang bentuknya seperti piringan besar berempel melingkari leher.
Kerah kaku dari kain putih itu bentuknya serupa piringan besar yang melingkari leher. Untuk mempertahankan bentuk rempel-nya, ruff sering diberi lem kanji. Pada akhirnya, orang merasa kurang nyaman dengan dasi ruff ini.
Pada masa pemerintahan raja Louis XIV di Prancis tahun 1660-an, terciptalah dasi yang disebut cravat. Dasi yang satu ini berukuran lebih pendek (menyerupai sapu tangan) dan menutupi leher bagian depan, serta disembunyikan di balik kerah baju.
Konon, bangsa Kroasia-lah yang berjasa dalam terciptanya cravat ini. Kabar yang menyebar bahkan menyebutkan, cravat berasal dari nama negara Kroasia dalam bahasa setempat, yakni “Hrvatska”. Hal itu tertulis dalam buku La Grande Historie de la Cravate tulisan Francoise Chaile tahun 1994.
Kisahnya bermula pada 1635 ketika enam ribu prajurit dan ksatria Kroasia (yang saat itu masih berbentuk kerajaan) datang ke Paris. Mereka datang karena mereka disewa oleh raja Louis XII untuk turun dalam perang.
Saat itu, pakaian tradisional mereka sangat menarik dengan sehelai sapu tangan yang diikatkan ke leher. Sapu tangan itu terlihat terbuat dari bahan katun halus, bahkan ada yang terbuat dari sutra. Sejatinya kain yang melingkar di leher tersebut awalnya bukan untuk kepentingan mode, tapi untuk menyatukan kerah kemeja mereka.
Cravat pun dengan cepat menjadi populer di Perancis karena dianggap lebih nyaman ketimbang ruff yang kaku. Sejak saat itu, sapu tangan khusus itu disebut dengan istilah cravat yang berarti “penduduk dari Kroasia”.
Namun memakai cravat bukanlah pekerjaan mudah. Beau Bummel (1778-1840) saja, seorang berkebangsaan Inggris yang terkenal dengan pengaruhnya terhadap perkembangan mode, butuh waktu berjam-jam untuk mengikat cravat miliknya dengan sempurna.
Saking ribetnya memasang cravat di leher, kala itu banyak buku diterbitkan hanya untuk mengulas tentang cara mengikat cravat. Asal tahu saja, paling tidak, ada lebih dari 100 cara untuk mengikat cravat berdasarkan buku-buku tersebut.
Banyak buku teknik mengikat cravat diterbitkan. Salah satunya menampilkan 32 cara, meski kenyataannya ada lebih dari 100 cara yang resmi dikenal saat itu. Begitupun, ada saja orang yang ingin mengekspresikan kepribadian mereka dengan kreasi sendiri.
Cravat pun menjadi awal terbentuknya variasi yang lain, sampai pada pertengahan 1880-an dasi kupu-kupu makin popular dan telah menjadi aksesoris wajib di lemari pakaian pria modis.
Kepopuleran cravat ini menarik perhatian tokoh penting dalam sejarah militer Perancis, Naopleon Bonaparte. Sang Kaisar ternyata juga tidak luput dari cerita soal cravat. Bahkan tersebar cerita-cerita mitos terkait dengan cravat yang dikenakannya.
Saat ia memakai cravat berwarna hitam yang dililitkan dua kali ke lehernya, ia selalu menang perang. Namun ketika terjun ke perang di Waterloo (1815), ia memakai cravat warna putih dan ia pun kalah dari negara-negara lawan yang tergabung dalam Koalisi Ketujuh.
Pada 1860-an, cravat dengan ujung yang panjang yang menyerupai dasi modern mulai diperkenalkan. Pada 1920, seorang pembuat dasi asal New York, AS bernama Jesse Langsdorf mematenkan cara baru membuat dasi yakni dengan memotong kain pada satu sudut dan kemudian menjahitnya menjadi tiga segmen.
Dasi itu dinamakan dasi Langsdorf. Dasi ini bisa memanjang rata tanpa menjadi kusut ketika sedang dikenakan. Inilah cikal bakal dasi modern popular seperti yang sudah kita kenal saat ini.
Dengan kemajuan teknologi, kini dasi jadi makin beragam warna, desain, dan teksturnya. Alhasil, lebih dari 100 juta dasi menyerbu berbagai gerai dasi setiap tahun.
Pada 2002 penyanyi asal Kanada, Avril Lavigne memopulerkan pemakaian dasi secara casual bagi para remaja wanita.
Itulah seputar dasi yang membuat pemakainya menjadi terlihat lebih keren. (Hilal)